Sabtu, 25 Oktober 2014

PENANGGULANGAN DAMPAK PENCEMARAN UDARA


Pencemaran udara adalah hal yang paling mempengaruhi terhadap kesehatan setiap manusia dan makhluk hidup yang ada di dunia ini, Lingkungan selain berfungsi sebagai modal pembangunan juga memiliki fungsi yang sangat vital dalam menopang kehidupan. Beberapa persoalan tentang lingkungan yang belakangan mengemuka perlu dilihat sebagai sebuah fenomena untuk menggugah kesadaran akan kelestarian lingkungan. Keberadaannya mutlak menjadi tanggung jawab manusia manakala terdapat ketidak seimbangan sistem sehingga berakibat tidak berjalan dengan baiknya kondisi lingkungan. Tanpa terkecuali juga pada persoalan Udara. Pencemaran udara banyak sekali ragam pencemarannya, yaitu pencemaran dari sisa-sisa produksi dari perusahaan yang membuang limbah asap tersebut begitu saja tanpa memeikirkan dampak yang di akibatkan oleh limbah mereka tersebut bagi masyrakat yang ada di sekitar perusahaan tersebut, Lalu limbah udara yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan sepeda motor dan mobil, dan banyak lagi limbah pencemaran udara yang mempengaruhinya, limbah udara ini bias berdampak tidak baik  bagi kesehatan manusia ,karna limbah ini mudah menyebar ke penjuru sudut manapun karna terbawa oleh adanya angina, seharusnya perusahaan-perusahaan yang menghasilkan limbah tersebut berupaya untuk mengurangi atau menghentikan limbah udara tersebut dengan mennggunakan berbagai   alat atau apapun untuk mengurangi kadar limbah udara tersebut.karena banyak hal yang bias dilakukan untuk menghilangkan limbah udara tersebut.contohmya yaitu seperti :

·         Mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui diantaranya Fuel Cell dan Solar Cell. 
·         Menghemat Energi yang digunakan.
·         Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal.
·         Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan atau pemukiman penduduk. 
·         Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencemari lingkungan atau ekosistem. 
·         Pengawasan terhadap penggunaan jenis-jenis pestisida dan zat kimia lain yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. 
·         Memperluas gerakan penghijauan.
·         Tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan.
·         Memberikan kesadaran terhadap masyarakat tentang arti lingkungan hidup sehingga manusia lebih mencintai lingkungan hidupnya. Menanam dan merawat tumbuhan di sekitar lingkungan kita. Berapa pun luas area kosong di rumah atau di tempat kerja kita, tanamilah dengan tumbuhan. Hal ini berguna untuk menyejukkan dan mengurangi jumlah polusi udara di sekitar kita. Jika lahan kosong benar-benar tidak ada, Anda bisa memelihara tanaman dalam pot dan meletakkannya atau bisa juga menggantungnya di teras atau beranda rumah. 
·         Gunakan kendaraan bermotor Anda, mobil ataupun motor, seefisian mungkin. Jika Anda memiliki 2 mobil, satu untuk Anda dan satu lagi milik pasangan Anda, kenapa tidak menggunakan satu saja? Anda bisa mengantar jemput pasangan sambil berangkat dan pulang kantor bukan?


Dan masih banyak sekali hal yang bias membuat udara kita ini mencadi alami dan tidak tercemar,sekarang yang dibutuhkan hanyalah kesadaran diri dari setiap manusia itu sendiri untuk memperhatikan lingkungan disekitarnya,karena untuk menciptakan hal tersebut membutuhkan perjuangan dan dedi kasi yang kuat untuk lingkungan kita sendiri. 

Jumat, 17 Oktober 2014

Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses Biofilter Anaerob Dan Aerob
            Tahu dan tempe merupakan makanan yang digemari masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah hingga atas. Keberadaannya sudah lama diakui sebagai makanan yang sehat, bergizi dan harganya murah. Hampir ditiap kota di Indonesia dijumpai industri tahu dan tempe. umumnya industri tahu dan tempe termasuk ke dalam industri kecil yang dikelola oleh rakyat dan beberapa di antaranya masuk dalam wadah Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe (KOPTI).
           Proses pembuatan tahu dan tempe masih sangat tradisional dan banyak memakai tenaga manusia. Bahan baku utama yang digunakan adalah kedelai (Glycine spp). Konsumsi kedelai Indonesia pada Tahun 1995 telah mencapai 2.287.317 Ton (Sri Utami, 1997). Sarwono (1989) menyatakan bahwa lebih dari separuh konsumsi kedelai Indonesia dipergunakan untuk diolah menjadi tempe dan tahu. Shurtleff dan Aoyagi (1979) memperkirakan jumlah pengusaha tahu di Indonesia sekitar 10.000 buah, yang sebagian besar masih berskala rumah tangga, dan terutama terpusat di Pulau Jawa, sebagai bandingan di Jepang sekitar 38 000 buah, di Korea 1 470 buah, Taiwan 2 500 buah dan Cina 158 000 buah.


           Air banyak digunakan sebagai bahan pencuci dan merebus kedelai untuk proses produksinya. Akibat dari besarnya pemakaian air pada proses pembuatan tahu dan tempe, limbah yang dihasilkan juga cukup besar. Sebagai contoh limbah industri tahu tempe di Semanan, Jakarta Barat kandungan BOD 5 mencapai 1 324 mg/l, COD 6698 mg/l, NH 4 84,4 mg/l, nitrat 1,76 mg/l dan nitrit 0,17 mg/l (Prakarindo Buana, 1996). Jika ditinjau dari Kep-03/MENKLH/11/1991 tentang baku mutu limbah cair, maka industri tahu dan tempe memerlukan pengolahan limbah.
           Pada saat ini sebagian besar industri tahu tempe masih merupakan industri kecil skala rumah tangga yang tidak dilengkapi dengan unit pengolah air limbah, sedangkan industri tahu dan tempe yang dikelola koperasi beberapa diantaranya telah memiliki unit pengolah limbah. Unit pengolah limbah yang ada umumnya menggunakan sistem anaerobik dengan efisiensi pengolahan 60-90%. Dengan sistem pengolah limbah yang ada, maka limbah yang dibuang ke peraian kadar zat organiknya (BOD) masih terlampau tinggi yakni sekitar 400 – 1 400 mg/l. Untuk itu perlu dilakukan proses pengolahan lanjut agar kandungan zat organik di dalan air limbah memenuhi standar air buangan yang boleh dibuang ke saluran umum.

    Industri tahu dan tempe merupakan industri kecil yang banyak tersebar di kota-kota besar dan kecil. Tempe dan tahu merupakan makanan yang digemari oleh banyak orang. Akibat dari banyaknya industri tahu dan tempe, maka limbah hasil proses pengolahan banyak membawa dampak terhadap lingkungan. Limbah dari pengolahan tahu dan tempe mempunyai kadar BOD sekitar 5.000 - 10.000 mg/l, COD 7.000 - 12.000 mg/l.
           Besarnya beban pencemaran yang ditimbulkan menyebabkan gangguan yang cukup serius terutama untuk perairan disekitar industri tahu dan tempe. Teknologi pengolahan limbah tahu tempe yang ada saat ini pada umumnya berupa pengolahan limbah sistem anaerob. Dengan proses biologis anaerob, efisiensi pengolahan hanya sekitar 70-80 %, sehingga air lahannya masih mengandung kadar polutan organik cukup tinggi, serta bau yang ditimbulkan dari sistem anaerob dan tingginya kadar fosfat merupakan masalah yang belum dapat diatasi.
           Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara kombinasi proses biologis anaerob-aerob yakni proses penguraian anaerob dan diikuti dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Dengan kombinasi proses tersebut diharapkan konsentrasi COD dalan air olahan yang dihasilkan turun menjadi 60 ppm, sehingga jika dibuang tidaklagi mencemari lingkungan sekitarnya.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH TAHU-TEMPE DENGAN SISTEM KOMBINASI BIOFILTER ANAEROB-AEROB
           Salah satu cara untuk mengatasi masalah air limbah industri tahu-tempe tersebut adalah dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara umum proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerob (Anaerobic digesting), dan yang ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Secara garis besar proses pengolahan air limbah industri tahu dan tempe ditunjukkan seperti pada Gambar 4.
           Air limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu-tempe kumpulkan melalui saluran air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air limbah dapat diturukkan sampai kira-kira 600 ppm (efisiensi pengolahan 90 %). Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter aerob.
           Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik adalah sebagai berikut (Lettingan et al, 1980; Sahm, 1984; Sterritt dan Lester, 1988; Switzenbaum, 1983) :
  • Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang ada sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses penguraian limbah akan menambah biaya pengoperasian.
  • Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20 kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang dihasilkan bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian besar energi didapat dari pemecahan substrat yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu CH4. Dibawah kondisi aerobik 50% dari karbon organik dirubah menjadi biomassa, sedangkan dalam proses anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang dirubah menjadi biomassa. Dengan proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa, sedangkan proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa (Speece, 1983; Switzenbaum, 1983).
  • Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan. Gas metan mengandung sekitar 90% energi dengan nilai kalori 9.000 kkal/m3, dan dapat dibakar ditempat proses penguraian atau untuk menghasilkan listrik. Sedikit energi terbuang menjadi panas (3-5%). Pruduksi metan menurunkan BOD dalam Penguraian lumpur limbah.
  • Energi untuk penguraian limbah kecil.
  • Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi polutan organik yang tinggi.
  • Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian limbah dalam jumlah besar.
  • Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik (seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami recalcitrant seperti liGnin.  .
Penguraian satu tahap
           Penguraian anaerobik membutuhkan tangki fermentasi yang besar, memiliki pencampur mekanik yang besar, pemanasan, pengumpul gas, penambahan lumpur, dan keluaran supernatan (Metcalf dan Eddy, 1991). Penguraian lumpur dan pengendapan terjadi secara simultan dalam tangki. Stratifikasi lumpur dan membentuk lapisan berikut dari bawah ke atas : lumpur hasil penguraian, lumpur pengurai aktif, lapisan supernatan (jernih), lapisan buih (skum), dan ruang gas. Hal ini secara umum ditunjukkan seperti pada gambar 5.
Penguraian dua tahap
           Proses ini membutuhkan dua tangki pengurai (reaktor) yakni satu tangki berfungsi mencampur secara terus-menerus dan pemanasan untuk stabilisasi lumpur, sedangkan tangki yang satu lagi untuk pemekatan dan penyimpanan sebelum dibuang ke pembuangan. Proses ini dapat menguraikan senyawa organik dalam jumlah yang lebih besar dan lebih cepat. Secara sederhana proses penguraian anaerob dua tahap dapat ditunjukkan seperti pada gambar 6.
Proses Mikrobiologi di Dalam Penguraian Anaerob
           Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metan. Lebih jauh lagi, terdapat interaksi sinergis antara bermacam-macam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah. Keseluruhan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut (Polprasert, 1989):
Senyawa Organik ---> CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S

           Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat ditemukan dalam penguraian anaerobik, bakteri bakteri tetap merupakan mikroorganisme yang paling dominan bekerja didalam proses penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik dan fakultatif (seperti : Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus) terlibat 

Kamis, 09 Oktober 2014

PENGOLAHAN LIMBAH BAHAN BERACUN DAN BERBAHAYA (B3)



1.PENGERTIAN B3
Bahan beracun dan berbahaya biasa disebut dengan B3 adalah suatu sampah atau limbah  yang ada di perusahaan-perusahaan, sampah ini merupakan limbah dari perusahaan tersebut,biasanya B3 ini tergolong limbah atau sampah yang sangat berbahaya,karena kebanyakan dari limbah ini terdiri dari zat-zat kimia yang digunakan perusahaan-perusahaan.proses pemusnahan limbah ini sangatlah berbeda dengan limbah-limbah lainnya,karena jika kita timbun dalam tanah maka tanah itu akan tercemar oleh bahan kimia tersebut,lalu sampah atau limbah tersebut membutuhkan waktu lama untuk hacur menyatu dengan tanah, maka sebab itu untuk memusnahkan limbah B3 ini memiliki proses yang berbeda dengan limba-limbah yang lainnya. Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya proses pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu  limbah B3 perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.

2.TUJUAN PENGELOLAAN LIMBAH B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.



Flowchart Identifikasi limbah B3

Ø  Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
1.      Berdasarkan sumber
2.      Berdasarkan karakteristik
Ø  Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
·      Limbah B3 dari sumber spesifik;
·      Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
·      Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Ø  Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
·      mudah meledak;
·      pengoksidasi;
·      sangat mudah sekali menyala;
·      sangat mudah menyala;
·      mudah menyala;
·      amat sangat beracun;
·      sangat beracun;
·      beracun;
·      berbahaya;
·      korosif;
·      bersifat iritasi;
·      berbahayabagi lingkungan;
·      karsinogenik;
·      teratogenik;
·      mutagenik.
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat.
3.PENGOLAHAN LIMBAH B3 HARUS MEMENUHI
Ø  Lokasi pengolahan
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:
1.         daerah bebas banjir;
2.         jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter;
Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:
1.         daerah bebas banjir;
2.         jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;
3.         jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;
4.         jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;
5.         dan jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.
Ø  Fasilitas pengolahan
Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:
1.         sistem kemanan fasilitas;
2.         sistem pencegahan terhadap kebakaran;
3.         sistem pencegahan terhadap kebakaran;
4.         sistem penanggulangan keadaan darurat;
5.         sistem pengujian peralatan;
6.         dan pelatihan karyawan.
Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.
Ø  Penanganan limbah B3 sebelum diolah
Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.
Ø  Pengolahan limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:
1.         proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.
2.         proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll.
3.         proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir
4.         proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr
Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi limbah.
Ø  Hasil pengolahan limbah B3
Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali).



Jumat, 03 Oktober 2014

PENCEMARAN LINGKUNGAN KARNA AIR DETERJEN

Detergen adalah pembersih sintetis campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan kimia. Dibanding dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik. Kebersihan merupakan salah satu faktor penting bagi kesehatan masyarakat. Untuk menjaga kebersihan badan, pakaian, tempat tinggal serta tempat umum dibutuhkan produk pembersih atau sabun cuci yang dapat diandalkan. Ibu rumah tangga, rumah sakit, sarana umum lain hingga hotel berbintang lima pasti menjadikan produk yang satu ini sebagai bagian kehidupan sehari-hari untuk mencuci pakaian maupun peralatan rumah tangga.Bahan-bahan kimia yang terkandung dalam deterjen adalah surfaktan,builder,zeolite,filler,bahan antiredeposisi,aditif.bahan-bahan tersebut sangatlah berbahaya jika tercemar di alam,bahkan akan berakibat fatal nantinya.

Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan atau diminimalisir penggunaannya. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH) antara 10 – 12.


BAHAYA DETERJEN TERHADAP KESEHATAN MANUSIA DAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya.

Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry merupakan deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada deterjen anionik sering ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker (Widiyani, 2010).
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung tingkat polutan organik yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk digunakan manusia dan merangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain itu deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati, tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang. Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati (Widiyani, 2010).
 Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan, 2005).
Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.

SOLUSI MENANGANI MASALAH LIMBAH DETERJEN

Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai pengganti fosfat (builder) dalam deterjen karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya.
Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam teknik misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon aktif, lumpur aktif, khlorinasi dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif.
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah serta mengelola limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif.
Penggunaan deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak lebih parah diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan. Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen, walaupun untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus melalui uji laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.
Meluruskan persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut, diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumen harus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya tidak lagi menggunakan ‘busa melimpah’ dalam mempromosikan produknya.